Klaim teritorial oleh negara bekas jajahan terhadap wilayah yang telah lama diyakini sebagai bagian dari bekas negara si penjajah bukanlah suatu isu baru yang melanda dunia politik internasional; salah satu contohnya dikenal dengan nama “Perang Malvinas/Falkland”.
Perang Malvinas/Falkland terjadi pada periode April - Juni 1982 akibat perselisihan antara Argentina dan Inggris dalam memperebutkan pulau Malvinas (sebutan bagi Argentina) atau Falkland (bagi Inggris) setelah perundingan yang alot selama bertahun-tahun dan mencapai puncaknya setelah kebuntuan perundingan diantara keduanya pada Februari 1982.
Kekecewaan pihak Argentina serta pengurangan kekuatan militer dan pengawasan Inggris atas Malvinas/Falkland memberikan kesempatan kepada Argentina untuk memikirkan langkah militer dalam mencapai tujuannya. Langkah pertama yang diambil oleh pihak Argentina untuk memulai konflik yaitu dengan mengibarkan bendera Argentina di South Georgia pada 19 Maret 1982 yang kemudian dilanjutkan dengan serangan ke Malvinas/Falkland Timur dan menduduki Port Stanley pada 2 April 1982. Selanjutnya sebagaimana diketahui, serangan Argentina ini dibalas Inggris dengan serangan yang lebih dasyat sampai akhirnya Malvinas/Falkland berhasil direbut kembali oleh Inggris.
Kepentingan Nasional Argentina
Perang Malvinas/Falkland mengusung kepentingan negara (politik prestise untuk memperbaiki dan meraih kehormatan nasional) sebagai alasan dilegalkannya keputusan untuk merebut kembali Malvinas/Falkland dari tangan Inggris melalui langkah militer setelah perundingan dengan Inggris mengenai masalah ini dianggap gagal. Namun apakah perang ini murni pecah karena alasan tersebut di atas?
Argentina menganut sistem pemerintahan otoriter yang berada di bawah komando junta militer, dimana keputusan politik dan kebijakan yang diambil terfokus pada kelompok militer yang berkuasa, yang dalam hal ini adalah presiden dan jenderal-jenderal militernya yang berperan sebagai pendukung serta tidak melalui pertimbangan perwakilan rakyat sehingga kemungkinan diambilnya keputusan irrational sangat besar. Namun, mengapa keputusan pengambilan langkah-langkah militer ini tidak diambil jauh sebelumnya? Padahal bila dilihat dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi; kondisi Argentina pada masa presiden-presiden sebelumnya dibandingkan dengan masa pemerintahan Jenderal Galtieri tidak jauh berbeda bahkan kondisi Argentina jauh lebih buruk saat diambilnya keputusan untuk berperang. Apakah ada aktor yang berperan dibalik pecahnya perang Malvinas/Falkland ini?
Berdasarkan Teropong Kompas, 28 Mei 2007 disebutkan bahwa alasan umum penyerangan yang dilakukan oleh pihak Argentina dikarenakan adanya perasaan memiliki karena jarak yang dekat dengan wilayah utama Argentina dan juga dikarenakan pihaknya merasa sebagai pewaris kedaulatan pemerintah Spanyol di Malvinas/Falkland yang gagal mempertahankan wilayahnya pada 1810 sehingga Malvinas/Falkland dikuasai oleh Inggris. Namun di paragraf lain juga disebutkan bahwa sejumlah pihak melihat bahwa motivasi utama Argentina melancarkan perang ini adalah untuk mengalihkan ancaman terhadap rezim Jenderal Leopoldo Galtieri yang sedang mendapat tekanan dari berbagai penjuru karena dituduh melancarkan ”perang kotor”, dimana 15.000 sampai 30.000 rakyat sipil Argentina dibunuh atau hilang, selain karena ekonomi buruk.
Major Darren More dalam jurnalnya ”Rear Admiral Woodward : Political Influence During The Falkland War “ juga menyebutkan alasan serupa dimana ia beranggapan bahwa alasan Argentina memilih untuk berperang dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah ekonomi dan politik dalam negeri yang semakin berkembang. Dari sini terlihat bahwa kepentingan politik penguasa sangat kental dalam pengambilan keputusan untuk berperang.
Serangan Argentina juga dilakukan karena perhitungan jarak antara Malvinas/Falkland - Argentina dan Malvinas/Falkland - Inggris. Jarak yang jauh antara Malvinas/Falkland – Inggris membuat Jenderal Galtieri yakin bahwa Inggris tidak akan bersusah payah untuk menanggapi pendudukan Malvinas/Falkland dengan kekuatan militer ditambah bahwa Malvinas/Falkland bukanlah daerah yang strategis bagi kepentingan Inggris karena posisi, kondisi, dan sumber daya alam yang tidak menguntungkan. Ditambah lagi kekuatan militer Inggris di Malvinas/Falkland telah mengendur.
Respon Inggris
Kemungkinan pendudukan Malvinas/Falkland oleh Argentina merupakan suatu hal yang diperkirakan oleh Inggris. Hal ini juga diutarakan oleh Major Darren More dalam jurnalnya menyebutkan bahwa berbagai komite pertahanan Inggris mengakui bahwa penyusutan kekuatan Inggris berarti bahwa Malvinas/Falkland tidak memiliki pertahanan sehingga akan sangat mudah bagi Argentina untuk menduduki Malvinas/Falkland dengan kekuatan militer. Dari situ dapat dilihat bahwa Inggris secara sadar menurunkan kekuatannya, namun kondisi dalam negeri Argentina sangatlah buruk dan ditambah kenyataan bahwa Inggris merupakan negara tujuan ekspor produk pertanian Argentina serta merupakan salah satu importir persenjataan militer Argentina, agaknya Inggris menganggap bahwa Argentina bukanlah sebuah ancaman yang berarti dan kemungkinan Argentina untuk merebut Malvinas/Falkland sangatlah kecil. Namun, perhitungan tersebut ternyata meleset.
Keputusan Inggris menanggapi serangan Argentina dengan serangan balasan menurut tidak bisa lepas dari andil Margareth Thatcher sebagai perdana menteri Inggris saat itu. Diplomasi tidak menjadi prioritas utama karena menganggap pendudukan itu merupakan pelanggaran keras terhadap kedaulatan Inggris dan pada saat itu pemerintahan Thatcher juga tengah mengalami penurunan popularitas di Inggris sehingga penggelaran kekuatan militer Inggris di Malvinas/Falkland merupakan kesempatan yang bagus bagi Thatcher untuk meningkatkan popularitasnya menjelang pemilihan umum di Inggris pada tahun 1983.
Ninok Leksono dalam Teropong Kompas menyebutkan bahwa Thatcher berusaha untuk membela hak kedaulatannya dengan menegaskan bahwa kedaulatan didasarkan pada hak penentuan nasib sendiri bagi warga Malvinas/Falkland yang beretnik Inggris. Namun disisi lain ia juga menyebutkan bahwa pada saat itu Inggris sedang memerlukan alat pemersatu ketika negara tersebut sedang dirundung kesulitan akibat kebijakan fiskal dan ekonomi pemerintahan Konservatif. Major Darren More sendiri dalam jurnalnya menyebutkan bahwa tindakan yang diambil oleh Inggris mencerminkan kegagalan politik dan diplomasi dalam penyelesaian perselisihan panjang dengan Argentina menyangkut Malvinas/Falkland dan pengiriman pasukan militer Inggris merupakan pengalihan perhatian publik terhadap kegagalan tersebut.
Pengaruh AS
Amerika Serikat merupakan tokoh lain yang ternyata cukup berperan dalam pecahnya perang Malvinas/Falkland. Argentina mengklaim bahwa AS tidak akan ikut campur dalam tindakan Argentina terhadap Malvinas/Falkland. Namun, perhitungan Argentina tersebut ternyata meleset. Amerika ternyata lebih memihak Inggris dan bahkan memberikan bantuan kepada Inggris dalam mengambil alih kembali Malvinas/Falkland dari tangan Argentina dalam bentuk intelijen dan material. Pengaruh AS terhadap organisasi negara-negara Amerika dan Amerika Latin yang pada dasarnya mendukung Argentina membuat anggota organisasi tidak bisa mengambil langkah konkret. Inggris juga mendapatkan dukungan dari masyarakat Eropa pada umumnya. Misalnya Perancis yang mengembargo senjata ke Argentina sehingga kemampuan militer Argentina terpangkas drastis. Hal tersebut jelas membuat Argentina yang berharap adanya persatuan sesama warga hemisfer (selatan) di pihak AS atau sekurang-kurangnya sikap netral sangat kecewa dengan tindakan AS.
Salah Perhutungan
Perang Malvinas/Falkland merupakan perang yang sarat dengan kepentingan politik penguasa. Namun perang ini tidak mungkin tercetus tanpa adanya kesempatan. Pengenduran kekuatan Inggris di Malvinas/Falkland memberikan kesempatan bagi pihak Argentina untuk melakukan pendudukan atas Malvinas/Falkland. Selain itu, pengaruh tokoh politik sangat berperan dalam pengambilan keputusan untuk berperang maupun keputusan lainnya yang menyangkut dengan konflik tersebut. Perang ini cukup irrational mengingat perbedaan kekuatan yang sangat mencolok diantara keduanya, dimana seharusnya Argentina tahu bahwa kecil sekali kemungkinan untuk menang melawan sebuah negara kolonial yang besar seperti Inggris. Hal ini tentunya dapat timbul karena adanya irrational actor yang berperan dalam pengambilan keputusan ini.
Kondisi ini oleh Jorge Luis Borges, seorang kolumnis Argentina digambarkan sebagai ”dua orang buta yang memperebutkan sisir”. Memperbutkan Falkland/Malvinas adalah sebuah bentuk representasi ego mengalahkan perhitungan-perhitungan rasionalitas. Konteksnya, Argentina pada zaman itu relatif sedang mensejajarkan dirinya dengan negara-negara Eropa, khususnya dalam bidang ekonomi. Dalam konteks itu, mengembalikan Malvinas adalah sebuah tindakan untuk meningkatkan harga diri bangsa.
Perang Malvinas/Falkland juga tercetus karena adanya kesalahan perhitungan dari pihak Argentina maupun pihak Inggris, serta adanya pengaruh AS pada keduanya. Pada akhirnya yang dirugikan bukan hanya pihak yang kalah tetapi juga pihak yang menang, namun yang diuntungkan adalah segelintir kecil tokoh-tokoh yang berada di balik peristiwa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ninok Leksono.Teropong:Kenangan 25 Tahun Perang Malvinas.Senin, 28 Mei 2007. http://202.146.5.33/kompas-cetak/0705/28/teropong/3559326.htm
Major Darren Moore. Rear Admiral Woodward: Political Influences during the Falklands War. Australian Defence Form Journal: Journal of Profession of Arms.
Argentina mengira dapat menguasai seterusnya Malvinas, perhitungannya meleset, Inggris dengan mudah merebut kembali
BalasHapusArgentina berkaca kepada Indonesia yang sukses dengan operasi Trikora
BalasHapus