Selasa, 22 Januari 2013

SENJATA UNTUK DIPLOMASI



Bung Karno mengumandangkan Tri Komando Rakyat di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Trikora digelar untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman kolonialisme Belanda

Meski tak sampai meletupkan perang, Operasi Trikora telah menunjukkan kemampuan Bung Karno dalam menaklukan Belanda. Baginya, untuk berdiplomasi dengan Belanda tak cukup lagi dengan mengerahkan politisi pintar. Tapi, juga harus dengan kekuatan senjata.
Semboyan “kalah menang itu biasa”, sama sekali tak berlaku bagi dua negara yang sedang bersitegang memperebutkan wilayah kedaulatan. Rebutan wilayah yang nyaris berujung bentrok senjata skala besar pernah dialami Indonesia-Belanda tatkala memperebutkan Irian Barat pada 1962.
Bung Karno, Presiden RI waktu itu, bahkan telah menyiapkan operasi militer khusus untuk “merangkul” wilayah yang kini kita kenal sebagai Papua itu. Baginya, Indonesia harus menjadi NKRI yang seutuhnya, bukan lagi negara serikat yang bisa didikte Pemerintah Belanda.
Agar tidak dipandang sebelah mata, untuk operasi militer yang diberi nama Trikora ini, Bung Karno menyiapkan banyak persenjataan yang dibeli dari Uni Soviet. Di antaranya adalah 24 pembom Tu-16 yang amat ditakuti Barat serta serombongan pesawat tempur MiG-19, dan MiG-17. Posisi Tu-16 amat strategis karena bisa digunakan untuk membom kapal induk Karel Doorman – senjata utama Belanda yang telah lego jangkar di perairan Biak.
Perang yang sesungguhnya toh tak meletup. Namun, terlepas dari jadi-tidaknya perang di antara kedua negara dan pembelian pesawat-pesawat yang kabarnya bikin difisit keuangan negara itu, Operasi Trikora menjadi kisah kepahlawanan dan legenda tersendiri. Khususnya bagi negaranegara Asia yang pada masa itu hidup dalam bayang-bayang dominasi Barat dan Timur.
Semula Belanda sendiri tak tahu detail kekuatan yang tengah dipersiapkan Indonesia. Di mata Belanda, Indonesia tetaplah Indonesia, negara kepulauan nan lemah yang pernah mereka jajah selama dua setengah abad. Dengan masa penjajahan selama itu, mereka yakin bisa mengalahkan kembali Indonesia, terlebih karena mereka juga pernah “menaklukan” negeri ini untuk kedua kalinya dalam forum internasional Konferensi Meja Bundar 1949.

Gelegar semangat Trikora yang ditujukan untuk melepas diri dari belenggu penjajahan juga mendapat sambutan dari sejumlah negara sahabat di Asia. Singapura dan Malaysia. di antaranya, ikut mengirim sukarelawan untuk disertakan dalam Operasi Trikora.
Seruan peringatan justru datang dan Dinas Intelijen AS, CIA. Diam-diam, mereka terus mengendus persenjataan yang ditimbun Indonesia setelah tahu ada sebuah tim (dipimpin Jenderal AH Nasution) yang sukses melobi Pemerintah Uni Soviet. Uni Soviet tak hanya berkenan merilis pesawat pembom strategisnya, tetapi juga mau menjual kapal perang dan peralatan tempur darat karena ada pertimbangan politis di belakang semua ini.
AS menyakini, bahwa Indonesia bisa nekad mengambil jalan perang jika tak mencapai apa yang diingini di meja perundingan Dan, untuk mengetahui secara persis tensi ketegangan di wilayah Irian Barat, secara berkala CIA menerbangkan pesawat mata-mata U-2 Dragon Lady. Mereka terbang bolak-balik Darwin-Filipina.
Dari foto-foto yang didapat, mereka bisa mengekstrapolasi misi yang mungkin dilakukan AURI. AURI banyak menempatkan pesawatnya di Morotai, Amahai dan Letfuan. Foto-foto ini sudah menunjukkan keseriusan Indonesia untuk merebut Irian Barat.
Tidak disembunyikan
Dalam salah satu tulisan di buku ini, yakni August Moon, Rendekzvous Spy Melayu, yang dikisahkan Capt. Gunardjo, kita pun mendapat gambaran, betapa Bung Karno akhirnya juga mengetahui penerbangan mata-mata itu. Namun is tak gusar, karena dari situ Indonesia bisa meraih keuntungan politis. Senjata untuk diplomasi. yang percuma jika dibeli hanya untuk disembunyikan.
Benar saja, ketika foto-foto kesiapan pesawat pembom strategis dan tempur itu disampaikan ke pihak Belanda, mereka berpikir ulang untuk melawan miliet Indonesia. Terlebih karena untuk itu, AS tak mau meluluskan permintaan Belanda untuk ikut mendukung perang melawan Indonesia.
Bagi Washington, mengutip buku Kegagalan CIA yang ditulis Tim Weiner (2007), stabilitas politik Indonesia jauh lebih penting ketimbang mengumbar keinginan Belanda yang ngotot ingin mempertahankan Irian Barat. Tanpa diketahui Belanda, Presiden AS John F. Kennedy dan penerusnya, Lyndon B. Johnson lebih ingin mempengaruhi Jakarta agar tak tenggelam dalam pengaruh komunis Soviet.
Dalam bahasa politik tingkat tinggi, seorang penasehat keamanan Gedung Putih mengatakan, jika negara-negara Asia dlibaratkan kartu domino yang berdiri berjajar, Washington harus menjaga posisi Indonesia, Laos dan Thailand tetap dalam barisannya. Jika salah satu saja ambruk, seluruh kartu domino Asia akan ikut ambruk. Itu artinya, komunis yang notabene merupakan musuh kapitalisme, akan segera menyebar ke seluruh Asia Tenggara.

Presiden Soekarno menandatangani Naskah Komando Rakyat yang kemudian diserahkan oleh Sekretaris Depertan, Achmadi.
Di Gedung Putih, sebaran komunis di Asia merupakan ancaman serius karena akan merusak dominasi kapitalisme yang tengah dibangun Amerika. Belajar dari pengalaman perang di Laos dan Vietnam yang telah berlangsung sejak 1950-an, mereka lebih suka mencegah daripada memeranginya. Kepentingan jangka panjang inilah yang akhirnya mementahkan permintaan Belanda.
Washington tak ingin militer Belanda justru bikin keadaan runyam. Seperti dikatakan pejabat CIA, Richard Helms, jika komunis memenangkan pengaruh atas Indonesia, kemenangan yang tengah dikejar militer AS di Vietnam tak akan berarti apa-apa lagi. Atas pertimbangan strategic itulah, betapa pun sekelompok politisi AS ingin membantu Belanda melawan Indonesia, Presiden AS tetap menempatkan permintaan Jakarta  pada prioritas pertama.
Sikap politik Gedung Putih tersebut disampaikan kepada Bung Karno ketika is menemui Presiden John F. Kennedy di Washington, tak lama setelah pihak Belanda menyampaikan keinginannya kepada pihak yang sama.
Alhasil, sejak Komando Trikora dikumandangkan di alun-alun Yogyakarta, kita bisa melihat betapa Sang Proklamator telah mampu melakukan manuver diplomasi yang amat cantik. Baginya memerangi penjajah tak cukup dengan mengerahkan politisi-politisi pintar, tetapi juga hams dengan kekuatan senjata. Dan, itu tidak dengan sembarang senjata, tetapi senjata-senjata yang memang amat ditakuti Barat. Senjata-senjata yang memiliki daya tangkal. Cara seperti ini pun ternyata masih terns dipakai banyak negara, hingga sekarang

sumber : sejarahperang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar