Selasa, 19 Februari 2013

MERIAM KH-178: Generasi Penerus Howitzer 105mm Armed TNI AD

Ditandai dengan hadirnya TRF-1 Caesar 155mm dan MLRS Astros MK6, nampak pengembangan alutsista artileri TNI AD terlihat cukup gencar, tapi rasanya masih ada yang sedikit mengganjal, pasalnya sista (sistem senjata) artileri di segmen howitzer 105mm agak kurang diperhatikan. Bahkan bicara sista di howitzer di kelas 105mm, TNI AD sedikit tertinggal dari satuan armed Korps Marinir TNI AL.
Di kelas howitzer kaliber 105mm sampai saat ini TNI AD hanya mengandalkan tipe M2A2 dan AMX MK61. Keduanya sama-sama howitzer, bedanya M2A2 merupakan meriam tarik (towed), sedangkan AMX MK61 adalah self propelled howitzer. Persamaan lain diantara keduanya adalah usia pakaianya yang sudah cukup tua. Bahkan M2A2 pengabdiannya sudah dimulai sejak Perang Dunia Kedua dan Perang Korea.
dde5ecc3-32e3-4451-bb40-600fe03a9857
3ee783db-07d9-4b21-8f4d-bc7c4f62f51b
Musim terus berganti, dan pada akhirnya alutsista tua meski battle proven sekalipun harus memasuki masa purna tugas. Menjawab hal tersebut, satuan artileri medan beberapa waktu lalu telah merilik meriam sista baru di kelas howitzer 105mm, tak lain adalah KH-178 yang merupakan meriam buatan WIA Corporation (dulu Kia Machine Tool Company ) dari Korea Selatan.
Taka hanya demam K-Pop yang melanda ABG di Tanah Air, hubungan bilateral termasuk yang terkait militer antara Indonesia dan Korea Selatan terbilang sangat erat. Tak sedikit alutsista TNI yang berasal dari Negeri Gingseng tersebut. KH-178 kaliber 105mm dapat digolongkan sebagai howitzer ringan yang awal produksinya dimulai pada tahun 1984. Dasar dari rancangan meriam ini berasal dari meriam asal AS M101 yang digunakan secara masif dalam Perang Korea di tahun 50-an.
Dilihat dari spesifikasinya, meriam dengan bobot 4.480 kg ini dapat melontarkan proyektil hingga 15 kali dalam satu menit. Jarak tembak maksimum mencapai 14.700 meter dan dapat menembakkan beragam tipe amunisi kaliber 105mm yang sesuau dengan standar NATO. Khusus dengan penembakkan Rocket-Assisted Projectile (RAP) bisa menjangkau 18.000 meter. KH 178 punya panjang 7,6 meter dan lebar 2,1 meter.
Uji tembak KH-178 oleh TNI AD
Uji tembak KH-178 oleh TNI AD
Uji tembak KH-178 oleh TNI AD
Uji tembak KH-178 oleh TNI AD
Batalyon Artileri Medan 9/ Kostrad (Yonarmed 9) telah melakukan uji penembakan meriam howitzer KH-178 di lapangan tembak ASR (Air Shooting Range) TNI AU Pandan Wangi Lumajang Jawa Timur. Pengujian melibatkan beberapa personel dari Pusdikarmed Pussenarmed Kodiklat TNI AD maupun personel dari Yonarmed 9/ Kostrad. Kegiatan penembakan ini melalui beberapa rangkaian meliputi : pelatihan operator meriam yang telah dilaksanakan di Yonarmed 9/ Kostrad pada tanggal 16-23 Maret 2011 dan Uji Fungsi meriam KH 178 yang telah selesai dilaksanakan di lapangan tembak Batujajar, Bandung pada 5 April 2011. Kabarnya meriam 105 mm KH-178 ini akan ditempatkan di beberapa Satuan Armed antara lain Yonarmed 9/ Kostrad, Yonarmed 8/ Kostrad dan Yonarmed 15 Dam II/ Sriwijaya.
Performa Kurang Memuaskan
Dalam beberapa pemberitaan disebutkan bahwa pembelian meriam ini merupakan lanjutan dari Kontrak Eksport (KE) pembelian alutsista TNI AD dari Korea. Tapi berdasarkan informasi yang dikutip dari Majalah Commando Edisi 6 Tahun 2012, disebutkan uji tembak KH-178 tidaklah memuaskan dalam hal akurasi yang diinginkan. Ditambah bobot meriam ini yang dinilai jauh lebih berat dari kompetitornya.
Inilah LG1 MK III, howitzer 105mm yang memikat TNI AD. Dibanding 
versi yang digunakan Korps Marinir TNI AL, MK III lebih maju, dimana 
telah digunakan sistem elektronis dalam pembidikan dan kontrol tembak. 
Komandan cukup memasukkan sasaran, dan sudut penembakkan, berikut tabel 
balistik ke layar LCD di sisi kiri meriam. Hasil tembak pun pastinya 
akan lebih akurat.
Add caption

Inilah LG1 MK III, howitzer 105mm yang memikat TNI AD. Dibanding versi yang digunakan Korps Marinir TNI AL, MK III lebih maju, dimana telah digunakan sistem elektronis dalam pembidikan dan kontrol tembak. Komandan cukup memasukkan sasaran, dan sudut penembakkan, berikut tabel balistik ke layar LCD di sisi kiri meriam. Hasil tembak pun pastinya akan lebih akurat.
Lebih lanjut TNI AD dikabarkan justru kesemsem dengan meriam asal Perancis, yakni LG-1 MK III. Dalam pengujian oleh Pussenarmed TNI AD, meriam ini dapat menampilkan performa yang memuaskan, bahkan mampu menandingi meriam M2A2 yang legendaris. LG-1 dalam versi yang lebih senior, LG1 MK II telah digunakan oleh Resimen Artileri Korps Marinir sejak tahun 1994. Selain sudah punya rekam jejak, LG-1 juga diproduksi oleh Nexter, yang tak lain produsen Caesar 155mm. Yang menarik lagi, bobot LG1 MK III hanya 1,5 ton, artinya 1 unit pesawat angkut berat C-130 Hercules dapat membawa 4 pucuk LG1. Jarak tembak maksimum meriam ini adalah 17.000 meter. Kembali ke KH-178, belum jelas benar apakah TNI AD tetap akan memborong meriam asal Korea Selatan atau meriam LG1 dari Perancis. Ada yang menyebut pembelian meriam KH-178 merupakan lanjutan dari Kontrak Ekspor (KE) pembelian alutsista TNI AD dari Korea. Dan belakangan hubungan militer antara Indonesia dan Korea Selatan sangat erat. Sampai saat ini KH-178 telah digunakan oleh AD Korea Selatan (1.700 unit) dan Chile (16 unit). (Gilang Perdana)
Spesifikasi KH-178
  • Kaliber : 105mm
  • Rate of fire : 15 rds/min
  • Berat : 4.480kg
  • Panjang : 7,6 meter
  • Lebar : 2,1 meter
  • Tinggi : 1,6 meter
  • Elevasi Laras : 65 derajat

ASTROS II MK6 : MLRS Multi Kaliber Armed TNI AD


ASTROS II at Indo Defence 2012
Bila ditinjau dari aspek jangkauan, roket begitu diandalkan sebagai senjata strategis, karena roketlah sosok Korea Utara dan Iran mempunyai daya deteren tinggi dimata rivalnya. Terkait dengan sista roket, TNI pun mendapat ‘angin segar’ dengan telah dibelinya ASTROS (Artillery Saturation Rocket System) II buatan Avibrás Aerospacial, manufaktur alutsista asal Brasil, pada kuartal keempat tahun lalu. ASTROS sendiri masuk dalam kelas MLRS (Multiple Launch Rocket System).
Hadirnya ASTROS II menjadikan kekuatan artileri medan (armed) TNI AD kini sejajar dengan AD Malaysia. Pasalnya Negeri Jiran ini telah jauh lebih dahulu mengoperasikan MLRS ini, yakni dimulai pada 2001, sejumlah perwira dan bintara dari Royal Artillery Regiment, Artillery Training Centre, Royal Ordnance Corps, dan Royal Electrical & Mechanical Corps dikirim ke Brasil untuk menyiapkan kedatangan 18 AV-LMU, 18 AV-RMD, 1 AV-VCC, 3 AV-PCC, 3 AV-UCF, 2 AV-MET (latih) and 3 AV-OFVE (varian perbaikan/recovery) – setara dengan tiga baterai. ASTROS II ditempatkan kedalam 51 Regiment Royal Artillery di Camp Gemas, Negeri Sembilan (Johor). Ketiga baterai tersebut dinamai berdasarkan nama-nama senjata: Baterai Alpha dinamai Keris, Baterai Bravo dinamai Panah, dan Baterai Charlie dinamai Tombak. Pada Januari 2006, setelah kedatangan 18 tambahan ASTROS II dengan total pengadaan (36 unit) sebesar 791 juta RM, 51st Regiment dinyatakan operasional penuh dan ditempatkan dibawah Army Field Command HQ, dari yang tadinya ada dibawah 3rd Division. Pengorganisasian ini memiliki makna bahwa ASTROS II ditempatkan sebagai senjata strategis dengan kemampuan menjangkau lawan, dan diperkirakan akan dipergunakan sebagai respon pertama yang akan diturunkan seandainya Malaysia mendapatkan serangan dari musuh.
ASTROS II MK5 milik AD Malaysia
ASTROS II MK5 milik AD Malaysia
Meski tertinggal beberapa tahun dari Malaysia, dengan anggaran US$405 juta akhirnya RI telah melakukan finalisasi untuk mendatangkan sekitar 36 unit ASTROS II MK6. Dan sebagai ‘persembahan’ kepada rakyat Indonesia, sista ini telah dipamerkan dalam ajang Pameran Alutsista TNI AD 2012 di Lapangan Monas (Oktober 2012) dan di Indo Defence 2012 pada bulan berikutnya. Kemunculan ASTROS memang mampu membetot banyak perhatian khalayak, terutama bila peluncur roket diaktifkan, jelas ASTROS Nampak sangar, setidaknya MLRS bseutan Negeri Samba ini tampil beda dengan yang sering dilihat publik Tanah air, seperti RM-70 Grad milik Korps Marinir TNI AL, ASTROS Nampak futuristik.
Di mata Armed TNI AD sebagai user roket ini, ASTROS merupakan lompatan penting dalam hal adopsi teknologi baru, inilah sista yang mampu menembakkan roket multi laras dengan kaliber 127mm hingga 300 mm. Agar tak salah mengerti, ASTROS II pada hakekatnya adalah sebuah sistem lengkap. Terdiri dari komponen kendaraan peluncur, disebut sebagai AV-LMU (Universal Multiple Launcher), kemudian ditunjang dengan kendaraan pembawa/re-supply amunisi (AV-RMD), dimana AV-RMD mempunyai kapasitas angkut sebanyak dua kali untuk pengisian tiap AV-LMU.
Sedangkan untuk elemen pengendali tembakkan, dipercayakan kepada varian ranpur komando AV-VCC yang dilengkapi peralatan komunikasi untuk mengkoordinasikan sampai tiga baterai ASTROS II. Paketnya makin lengkap lagi jika unit kendali penembakan AV-UCF juga diturunkan. Dilengkapi radar dan komputer penembakan, AV-UCF berperan sebagai FDC (Fire Direction Center) bagi unit AV-LMU. Kehadiran AV-UCF dapat meningkatkan persentase perkenaan secara signifikan dan memperpendek waktu serangan. Tapi bila kepepet, menurunkan AV-LMU tanpa unit lainnya pun tak masalah, dengan konsekuensi regu artileri harus menurunkan satu forward observer untuk mengoreksi arah jatuhnya roket. Menurut Avibras, pakem baterai ASTROS II yang ideal adalah 6 AV-LMU yang didukung 6 AV-RMD dan satu AV-UCF. Satu AV-VCC bisa ditempatkan di level batalyon, dengan dukungan dua kendaraan recovery/repair untuk memperbaiki kerusakan. Tiap baterai bisa melontarkan roket yang mencakup 200km2 bila seluruh roket, termasuk munisi isi ulang.
Dalam satu baterai ASTROS II, terdiri dari 13 kendaraan, dengan perincian 6 unit kendaraan peluncur roket, 6 unit truk pembawa roket, dan 1 unit kendaraan yang dilengkapi radar dan system kontrol peluncuran/penembakkan. Sedangkan sebagai platform kendaraan pengangkut dipercayakan kepada jenis truk Tectran VBT-2028 6×6 yang memiliki mobilitas tinggi pada berbagai kondisi medan.
Multi Kaliber
Dengan konsepnya yang multi kaliber, menjadikan ASTROS II sangat fleksibel untuk menggasak aneka target dengan jangkauan yang berbeda. Avibras mendesain sistem roket ASTROS secara modular, sehingga mudah dikonfigurasi di lapangan sesuai kebutuhan. Roket-roket yang ada dimuat dalam kontainer yang pada gilirannya tinggal dimuat kedalam kotak peluncur di atas sasis ASTROS II, memudahkan penyimpanan roket sekaligus lebih aman dari guncangan. Sistem pengisian ulang (reloading) munisi Astros ini sangatlah mudah, untuk satu set munisi yang dibawa oleh satu kendaraan Astros hanya dibutuhkan waktu 8 hingga 12 menit saja.
Proses reload amunisi pada ASTROS 
II
Proses reload amunisi pada ASTROS II
Sistem senjata terpadu dan jenis 
roket dalam ASTROS II
Sistem senjata terpadu dan jenis roket dalam ASTROS II
avibrasastros2
ASTROS_a1
Ada 4 macam roket yang dipersiapkan Avibras, yang semua motor roketnya ditenagai oleh double-base propellant. Kaliber terkecilnya adalah 127mm SS-30, yang terpasang sebanyak 32 tabung per kotak peluncur. Roket berhulu-ledak HE (High Explosive) dengan panjang 3,9m dan berbobot 68kg sebuahnya ini mampu menjangkau sasaran sejauh 30km. Roket kedua, SS-40, memiliki kapasitas maksimal 16 roket dalam satu tabung peluncur. Selongsong roketnya memiliki empat sirip (fins) dengan panjang 4,2m dan berbobot 152kg sebuahnya. Jarak jangkaunya antara 15-35 km. Soal hulu ledak, SS-40 cukup fleksibel. Jika mau HE ada, bila memilih munisi cluster/ bomblet (tandan) DP (Dual Purpose) anti material dan personil juga tersedia. Khusus untuk munisi bomblet, dimensinya adalah 39x13cm, dengan sumbu impak mekanis. Tiap bomblet dilengkapi pita-parasut yang berfungsi menahan dan menstabilkan arah jatuhnya. Kategori ketiga, ada SS-60 yang merupakan pengembangan dari SS-40. Punya sosok lebih besar sepanjang 5,6m dan berbobot 595kg, konsekuensinya SS-60 bisa menampung 65 bomblet. Jangkauannya antara 20-60km dengan waktu tempuh 117 detik untuk mencapai jarak maksimal 60 km. Dalam satu kendaraan peluncur, dapat memuat hingga 4 roket SS-60.
Roket terakhir, yaitu SS-80, lahir belakangan pada 1995, dengan sosok yang tak jauh beda dengan SS-60. Daya jangkaunya yang mencapai 90 km dimungkinkan berkat propelan baru. Selain itu, SS-80 bisa dimuati senjata kimia mematikan, walaupun jenis roket yang terakhir ini belum pernah dipergunakan dalam pertempuran aktual. Tak berhenti di 4 kaliber diatas, Avibras juga mengembangkan SS-150 dengan muatan 4 unit roket kaliber 300 mm, jangkauan tembak minimumnya 29 km dan maksimum 150 km. Bahkan ada lagi varian AV/MT-300 MT, daya jelajahnya bisa menjangkau 300 km, sebuah jangkauan tembak yang mampu merubah tatanan strategi militer di kawasan. Namun yang disebut terakhir ini bukanlah roket, melainkan sebuah rudal!
Rudal jelajah AV/MT-300 yang dapat
 diluncurkan dari ASTROS II. Dalam satu peluncur dapat membawa 2 unit 
rudal.
Rudal jelajah AV/MT-300 yang dapat diluncurkan dari ASTROS II. Dalam satu peluncur dapat membawa 2 unit rudal.
Melontarkan Rudal, Geterkan Kawasan
Seandainya Indonesia atau Malaysia memiliki rudal AV/MT-300 MT pada ASTROS, maka dampaknya di kawasan mungkin bisa serupa dengan kehadiran rudal Yakhont TNI AL. AV/MT-300 adalah rudal jelajah ekonomis yang tabirnya mulai disingkap pada Oktober 2001. Avibras mendesain AV/MT-300 berbekal inertial navigation system yang memanfaatkan GPS yang dikoreksi laser, sehingga menjamin akurasi maksimal yang bisa diraih. Hulu ledak yang dibawa, sebesar 200 kg, cukup untuk meluluhlantakkan apapun yang dihantamnya. Soal peluncur, satu AV-LMU bisa menggotong dua AV/MT-300 tanpa persiapan yang lama. Dan yang paling menggiurkan tentu soal banderol harga: satu unit AV/MT-300 hanya dibanderol US$8.000-10.000 perbuahnya.
astros7
Sudah Teruji
ASTROS II sudah digunakan oleh Angkatan Darat Brasil sejak tahun 1983. Pihak asing yang sudah membuktikan kemampuan sistem peluncur roket ini contohnya adalah Irak. Angkatan Darat Irak menggunakan ASTROS II pada Perang Teluk 1991, namun pihak Arab Saudi juga menggunakan unit sistem yang sama untuk melawan Irak. Pihak militer Angola juga menggunakan ASTROS II untuk mengalahkan UNITA. Di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Malaysia yang punya sista ini, bedanya AD Malaysia sudah lebih dulu mengoperasikan dengan versi MK5. (Diolah dari berbagai sumber)

Kamis, 14 Februari 2013

INSIDEN PESAWAT SUKHOI RI DI LOCK MISSILE



Hari jumat tanggal 20 Februari 2009 boleh jadi adalah momen berharga bagi Angkatan Udara Indonesia. Pasalnya, ini kali pertama jet tempur termodern TNI-AU, Su-30 Sukhoi dikabarkan di lock (dikunci) oleh sensor rudal pesawat tak dikenal.

Sontak berita ini jadi headline di berbagai pemberitaan nasional. Ada yang menyebut dua Sukhoi TNI-AU di lock oleh pesawat tempur berkualifikasi stealth, ada lagi yang bilang Sukhoi di lock oleh kapal selam asing, lalu satelit, bahkan ada pendapat yang cukup aneh, Sukhoi telah di lock oleh UFO.

Opini di masyarakat pun berkembang luas. Mengatasi berita yang sumir, pihak Puspen TNI akhirnya memberi pernyataan bahwa dua Sukhoi mengalami kerusakan elektronik. Sejak saat itu berita Sukhoi di lock mulai sepi dari ulasan di berbagai media.

Tapi peristiwa 20 Februari itu terus mengundang tanya, apakah mungkin dua jet tempur super canggih berharga ratusan juta US dollar itu mengalami kerusakan elektronik secara bersamaan? Terlebih lagi pesawat saat kejadian diawaki oleh instruktur pilot berpengalaman dari Rusia. Nah, ketimbang dibuat bingung, ada baiknya kita analisa mengenai beberapa kemungkinan yang terjadi pada hari jumat pagi itu.

Sukhoi di “lock” pesawat tempur
Kalaupun Sukhoi di lock rudal pesawat tempur, tentu tak sulit menemukan tersangkanya. Secara kemampuan militer, hanya Amerika Serikat dan Australia yang bisa “berani” untuk melakukan hal ini.

Seandainya di lock oleh sosok pesawat stealth, AS lah yang mungkin terlibat. Tapi untuk misi ini membutuhkan pangkalan aju, semisal di Guam atau di Darwin (Australia Utara). bahkan boleh jadi perlu dukungan air refeuling untuk misi jarak jauh. Pesawat AS yang punya kemampuan stealth saat ini diantaranya F-22 Raptor, F-117 Night Hawk dan B-2 Spirit.

Tapi analisa diatas rasanya agak berlebih, mengingat untuk operasi macam ini butuh biaya besar dan beresiko tinggi. Risiko tinggi tentu bukan dari hadangan pesawat tempur TNI-AU, tapi lebih mungkin karena faktor alam. Maklum operasi digelar di lautan lepas yang faktor cuacanya sulit diduga. Kecuali AS punya niat untuk misi dagang, semisal membuktikan kecanggihan stealth F-22 Raptor kepada calon pembelinya.

Ada lagi misteri di soal jarak kunci rudal, dikabarkan di media massa Sukhoi di lock dari jarak ratusan kilometer. Pertanyaanya, jenis rudal apakah yang bisa me lock dalam radius demikian jauh? Stoknya tak terlalu banyak dipasar, rudal udara ke udara yang punya jangkauan ini kandidatnya adalah AIM-7 Sparrow dan Phoenix.

Tapi berdasar analisa lebih jauh, Phoenix lah yang paling mungkin dari segi teknis dengan jangkauan operasi sampai 200 Kilometer. Phoenix dahulu pernah dipakai F-14 Tomcat US Navy untuk menjatuhkan MIG-23 Flogger milik Libia. Tapi rudal era tahun 80-an ini sudah tergolong tua.

Seandainya memang benar Sukhoi TNI-AU di lock oleh pesawat stealth, saya yakin niatnya bukan untuk benar-benar menghancurkan, mungkin lebih tepat untuk trial response. Toh walau Sukhoi TNI AU canggih, belum dibekali paket senjata yang mematikan, seperti rudal udara ke udara. Senjata Sukhoi TNI AU baru sebatas kanon internal 30 mm. Moga-moga dengan adanya insiden ini membuat pemerintah terketuk untuk melengkapi sang Sukhoi dengan senjata yang bisa menggetarkan lawan.

Apalah artinya pesawat tempur canggih tanpa bekal senjata yang mumpuni. Seyogyanya TNI AU harus belajar dari kasus F-16 yang cuma dibekali paket rudal AIM-P4 Sidewinder dan rudal udara ke darat AGM-65 Maverick.

Kembali ke hari dimana Sukhoi di lock, begitu ada kabar Sukhoi di kunci rudal sontak berita diteruskan ke pangkalan di Makassar dan pejabat Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional). Maka diputuskanlah untuk menerbangkan Boeing 737-200 Surveillance Skadron 5 yang juga ber-home base di lanud Hassanudin Makassar, Sulawesi Selatan.

Dikabarkan Boeing 737 langsung melakukan pencarian obyek pesawat tak dikenal dalam jangkaun 370 Km, kemudian diteruskan ke arah selatan menuju Bali. Skadron 5 sendiri hanya punya 3 unit Boeing 737 Surveillance, dan diterbangkan secara bergantian. Pertanyaanya, apakah efektif pencarian pesawat penyusup dengan Boeing 737 tersebut?

Boeing 737 Surveillance terbilang pesawat pengintai canggih di era tahun 80-an. Salah satu andalannya adalah radar pengintai laut SLAMMER (Side Looking Airborne Multimission Radar) yang bisa memantau aktivitas di lautan sepanjang area 85 ribu mil per jam (lihat artikel Boeing 737 Surveillance – Jet Pengintai TNI-AU). Tapi Boeing 737 surveillance TNI AU tak bisa disamakan dengan pesawat intai E-3A AWACS ataupun E-2C Hawkeye. Kemampuan penjejakan Boeing 737 surveillance bukan untuk keunggulan intai aktivitas di udara, melainkan untuk intai laut.

Seandainya Boeing 737 surveillance TNI AU diberi tugas intai mendadak pada pagi itu, apakah pesawat tersebut bisa diterbangkan dengan cepat? Apakah Boeing 737 bisa scramble secepat pesawat tempur? Meski menyandang status pesawat militer, Boeing 737 surveillance TNI AU tak beda jauh dengan performa mesin Boeing 737 milik penerbangan komersial. Tentu dibutuhkan waktu dan persiapan untuk mengudara. Belum lagi Lanud (pangkalan udara) menyatu dengan bandara Hassanudin, tentu diperlukan koordinasi bila butuh terbang mendadak dengan pihak ototitas penerbangan sipil di bandara, dalam hal ini PT Angkasa Pura.

Dengan skenario ini, terlihat tidak efektif bila Boeing 737 surveillance diberi tugas intai pengejaran. Tentu ada banyak jeda waktu yang terbuang sampai Boeing 737 surveillance hadir di TKP (tempat kejadian perkara). Belum lagi bila yang dihadapi pesawat jet tempur, tentu kecepatan escape nya luar biasa cepat, secepat-cepatnya Boeing 737 mengejar tentu tak akan ada hasilnya. Obyek pesawat juga tak akan bisa terlihat lagi dari layar radar.

Menurut pemberitaan, seluruh satuan radar baik sipil dan militer di darat tak ada yang melihat aktivitas black flight. Seandainya benar yang menyusup pesawat stealth, harus diacungi jempol kemampuan pesawat tersebut.

Apakah Ulah Australia?
Australia punya reputasi tinggi pada soal susup menyusup ke wilayah Indonesia. Pasca jejak pendapat di Timor Timur, beberapa kali F-18 Hornet AU Australia kerap masuk jauh ke wilayah udara Indonesia. Salah satu peristiwa yang membuat heboh saat Hawk 200 TNI AU mampu menyergap black flight F-18 Hornet Australia. Hornet dan F-111 Raven Australia diduga juga pernah terbang tinggi diatas lanud Kupang. Sayang Arhanud Indonesia tak memliki rudal anti pesawat jarak jauh seperti SA-2 di era tahun 60-an.

Hanya sekedar analisa, insiden Sukhoi di lock bukan tak mungkin melibatkan Australia. Secara geografis hal ini dimungkinkan mengingat wilayah laut Sulawesi Selatan masih dalam jangkauan pesawat tempur Australia yang bermarkas di lanud Tindal, Darwin, Australia Utara. Apalagi dengan konsep isi bahan bakar di udara segalanya menjadi mungkin.

Walau F-111 Raven dan F-18 Hornet tak memiliki kemampuan steatlh, bukan tak mungkin ada peningkatan kemampuan radar dan persenjataan dengan restu AS. Kabar terbaru AU Australia segera akan diperkuat oleh 24 armada F-18 Super Hornet. Ataukah sebuah penerbangan gelap F-22 Raptor take off dari Darwin? Walahualam..

Sukhoi di Lock Kapal Selam?
Kemampuan perang ekektronik memungkinkan segalanya bisa dilakukan, sebuah kapal selam dapat melepasan rudal dari bawah permukaan laut ke target berupa pesawat, tentu didahului dengan lock missile. Salah satu rudal dengan kemampuan ini adalah sea sparrow. Jenis kapal selam yang bisa melakukan hal ini rasanya hanya milik US Navy, seperti kelas Los Angeles .

Skenario lock dari kapal selam mencuat karena kebuntuan hasil pencarian dari pesawat intai. Banyaknya celah laut Indonesia, memungkinkan kapal selam asing menyusup jauh ke wilayah perairan kita tanpa terditeksi. Ditambah masalah jumlah kapal perang TNI AL yang punya kemampuan anti kapal selam masih sangat terbatas.

Gara-Gara Rombongan Hilary?
Skenario ini paling kecil kemungkinannya, tapi insiden Sukhoi di Lock tak jauh dari waktu kedatangan menlu AS, Hilary Clinton di Indonesia. Bisa saja saat kedatangan ataupun kepergian Hilary dari wilayah Indonesia, pihak rombongan kurang “nyaman” dengan manuver latihan Sukhoi, lantas di lock jamming lah kedua pesawat TNI AU itu.

Berpulang kepada hal diatas, semua yang diungkapkan hanyalah opini pribadi. Tetap terbuka kemungkinan bahwa semua ini adalah karena problem kerusakan elektronik semata. Yang jelas dalam dunia teknologi militer impossible is nothing

baca juga : 

INI DIA NEGARA-NEGARA PEMILIK SENJATA NUKLIR

Rudal balistik antar benua (ICBM) nuklir rusia
ledakan dari tes nuklir

kedahsyatan ledakan nukir

Senjata nuklir selalu menjadi momok menakutkan jika digunakan untuk kepentingan peperangan. Jika diledakkan di sebuah kota besar, jutaan nyawa orang bisa melayang, dan meninggalkan efek radiasi hingga beberapa dekade. Sangat berbahaya.

Namun, saat ini, ada beberapa negara masih mengembangkan senjata nuklir. Menurut data Federation of American Scientists pada tahun 2012, setidaknya ada sembilan negara yang memiliki senjata mematikan itu. Jumlahnya diestimasi sekitar 20.000 senjata nuklir di seluruh dunia.

Beberapa negara dilaporkan sudah meminimalisir penggunaan nuklir sebagai amunisi perang. Namun, kendati sudah dikurangi, nuklir-nuklir itu disinyalir tetap dalam kondisi siaga tinggi. Artinya, nuklir siap diluncurkan kapan saja dalam keadaan darurat.

Reuters melansir, 13 Februari 2013, meskipun jumlah pasti senjata nuklir yang dimiliki oleh negara adalah rahasia, tapi Strategic Arms Reduction Treaty (START) mengklaim telah menghitung jumlah nuklir di sembilan negara di dunia.

Mereka adalah Amerika Serikat, Prancis, Inggris, China, India, Korea Utara, Pakistan, dan Israel. Iran? Sepertinya START belum menghitungnya.

Dari laporan tersebut, diketahui bahwa Amerika serikat memiliki 5.200 hulu ledak nuklir dan diperkirakan ada 2.700 roket nuklir yang siap dioperasikan.

Sementara Rusia diperkirakan memiliki 14.000 senjata nuklir. Jumlah ini tidak pasti karena tidak pernah ada perhitungan yang akurat. Bisa kurang, atau lebih banyak dari perkiraan.

Inggris disinyalir memiliki kurang dari 200 senjata nuklir strategis. Nuklir ini digunakan sebagai bahan bakar kapal selamnya, juga untuk rudal-rudal balistiknya.

Sementara Israel diduga memiliki persenjataan nuklir yang sangat besar, tapi kebijakan penggunaan nuklir di negara yang 91 persen populasinya adalah Yahudi itu masih belum jelas. Diperkirakan Israel memiliki 100 sampai 200 perangkat canggih peledak nuklir.

Di kawasan Asia, persenjataan nuklir bisa ditemui cukup banyak. Dari perhitungan START, China diperkirakan memiliki 400 senjata nuklir strategis dan taktis. Persediaan bahan-bahan nuklirnya masih banyak untuk menghasilkan persenjataan yang jauh lebih besar.

Sedangkan, India telah resmi mendeklarasikan sebagai negara yang memiliki senjata nuklir. Negara dengan ibukota New Delhi itu kemungkinan bisa memproduksi 100 hulu ledak nuklir.

Tidak ketinggalan, negara yang kerap menjadi sorotan media asing, dan dipastikan memiliki senjata nuklir adalah Korea Utara. Hal ini diketahui dari pengujian pertama senjata nuklirnya pada bulan Oktober tahun 2006, diikuti pengujian kedua pada bulan Mei tahun 2009 silam.

Terakhir, Pakistan. Negara ini diyakini telah menimbun 580-800 kg uranium yang diperkirakan dapat membuat 30 sampai 50 bom nuklir fisi. Menurut AS, China berada di belakangnya, diduga memasok bahan-bahan nuklir, keahlian ilmiah, bantuan teknis untuk Pakistan

                   * kapal selam nuklir yuri dolgoruky rusia 
                   * kekuatan nuklir dalam persenjataan india  
                   * program senjata nuklir non strategis pakistan 
                   * rudal balistik topol m rusia (icbm) berhulu ledak nuklir


sumber : http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/389913-ini-dia-negara-negara-pemilik-senjata-nuklir

Selasa, 12 Februari 2013

INSIDEN DUEL UDARA F-16 TNI AU Dengan F/A 18 MILIK US NAVY di ATAS PULAU BAWEAN

Insiden Bawean adalah duel udara pesawat tempur F-16 TNI-AU dengan pesawat tempur F/A 18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) yang menerobos masuk wilayah Indonesia di atas kepulauan Bawean. Ini bukan latihan militer, ini kenyataan.

Tanggal 3 Juli 2003, kawasan udara di atas Pulau Bawean sontak memanas ketika lima pesawat asing yang kemudian diketahui sebagai pesawat F/A 18 Hornet terdeteksi radar TNI AU. Dari pantauan radar kelima Hornet terbang cukup lama, lebih dari satu jam dengan manuver sedang latihan tempur. Untuk sementara Kosek II Hanudnas (Komando Sektor II Pertahanan Udara Nasional) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) belum melakukan tindakan identifikasi dengan cara mengirimkan pesawat tempur karena kelima Hornet kemudian menghilang dari layar radar.

Sekitar dua jam kemudian, Radar Kosek II kembali menangkap manuver Hornet. Karena itu panglima Konanudnas menurunkan perintah untuk segera melakukan identifikasi. Apalagi manuver sejumlah Hornet itu sudah mengganggu penerbangan komersial yang akan menuju ke Surabaya dan Bali serta sama sekali tak ada komunikasi dengan ATC terdekat.



Dua pesawat tempur buru sergap F-16 TNI-AU yang masing-masing diawaki Kapten Pnb. Ian Fuadi/Kapten Fajar Adrianto dan Kapten Pnb. Tony Heryanto/Kapten Pnb. Satro Utomosegera disiapkan. Misi kedua F-16 itu sangat jelas yaitu melakukan identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang merupakan yang utama. Selain itu, para penerbang diminta agar tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam. Namun demikian, untuk menghadapi hal yang terduga kedua F-16 masing-masing dua rudal AIM-9 P4 dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 mm.

Menjelang petang, Falcon Fligh F-16 melesat ke udara dan tak lama kemudian kehadiran mereka langsung disambut dua pesawat Hornet. Radar Falcon Fligh segera menangkap kehadiran dua Hornet yang terbang cepat dalam posisi siap tempur. Perang radar atau jamming antara kedua pihak pun berlangsung seru. Yang lebih menegangkan pada saat yang sama, F-16 yang berada pada posisi pertama telah dikunci, lock on oleh radar dan rudal Hornet. F-16 kedua yang terbang dalam posisi supporting Fighter juga dikejar oleh Hornet lainnya. Namun posisi F-16 kedua lebih menguntungkan. Jika memang harus terjadi dog fight ia bisa melancarkan bantuan.

Untuk menghindari sergapan rudal lawan seandainya memang benar-banar diluncurkan, F-16 pertama lalu melakukan manuver menghindar, yakni hard break berbelok tajam hampir 90 derajat ke arah kanan dan kiri serta melakukan gerakan zig-zag. Manuver tempur itu dilakukan secara bergantian baik oleh F-16 maupun Hornet yang terus ketat menempel. Melihat keadaan yang semakin memanas, F-16 kedua lalu mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda bahwa kedua pesawat F-16 TNI-AU tidak mempunyai maksud mengancam.

Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua Hornet yang mencegat mereka. Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui bahwa mereka mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional. "We are F-18 Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from our warship". F-16 pertama lalu menjelaskan bahwa mereka sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi tahu bahwa posisi F-18 berada di wilayah Indonesia. Mereka juga diminta mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat Bali Control belum mengetahui status mereka.

Usai kontak Hornet AS itu terbang menjauh sedang kedua F-16 TNI-AU return to base, kembali ke pangkalannya Lanud Iswahjudi Madiun. Selain berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal perang Frigat yang sedang berlayar ke arah timur. Setelah kedua F-16 mendarat selamat di pangkalan TNI-AU menerima laporan dari MCC Rai (ATC Bali) bahwa fligh Hornet merupakan bagian dari armada US Navy. Namun yang paling penting dan merupakan tolak ukur suksesnya tugas F-16, Hornet AL AS itu baru saja mengontak MCC RAI dan melaporkan kegiatannya.

Keesokan harinya TNI-AU terus mengadakan pemantauan terhadap konvoi armada laut AS itu dengan mengirimkan pesawat intai B737. Hasil pengintaian dan pemotretan menunjukkan bahwa armada laut AS yang terdiri dari kapal induk USS Carl Vinson, dua frigat dan satu destroyer sedang berlayar diantara Pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok. Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibanyangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan "keberatan" secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
 
                 insiden pesawat sukhoi RI di-lock misil asing

sumber : http://www.bawean.net

DUEL UDARA PESAWAT HAWK TNI vs F/A-18 HORNET ASING DI ATAS LANUD EL TARI KUPANG

Pada 16 September 1999 di Lanud El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, disiapkan 2 pesawat tempur Hawk 209, 1 Hawk 109, dan 3 pesawat tempur propeler OV-10 Bronco. Kegiatan berjalan seperti biasa pada hari itu, penerbang Hawk dipersiapkan untuk menggelar Combat Air Patrol (CAP) sebagai inti Operasi Pertahanan Udara “Elang Jaya”. (Dikutip dari Majalah Commando edisi Juli – Agustus 2004)
Dalam flight plan, ditentukan Kapten (Pnb) Azhar Aditama sebagai tactical lead dengan wing man Mayor (Pnb) Henry Alfiandi dan Lettu (Pnb) Anton Mengko. Azhar akan menerbangkan Hawk-209 TT-1207. Sedangkan Henry dan Anton menggunakan Hawk-100 versi tandem TL-0501. Persis pukul 08.45 Wita, mesin kedua pesawat dinyalakan dan segera lepas landas. Pesawat membumbung dengan formasi sejajar (take spread) hingga ketinggian 10.000 kaki, mengarah ke tenggara (225 derajat) menuju batas FIR (flight information region) Darwin. Jarak antar pesawat 1,2 mil.

Hawk 209 TNI AU

Hawk 109 TNI AU
Saat mendekati FIR, Azhar mengontak Satuan Radar (Satrad) 251 yang mengoperasikan radar jenis ground control interception (GCI). Saat Mayor Haposan melaporkan situasi di udara menurut pantauan radar, jam menunjukkan pukul 09.15. Masih dalam posisi sejajar, kedua pesawat terbang menyusuri FIR menuju arah pulau Roti, sekitar 80 mil dari El Tari.
Cepat sekali, mendadak Azhar dikagetkan oleh laporan Haposan. Satrad menangkap dua pesawat tidak dikenal melewati 10 mil dari batas FIR Darwin di ketinggian 8.000 kaki dengan kecepatan 160 knot. Begitu pelannya, Azhar dan rekannya menduga paling helikopter. Jarak antara Hawk dan ‘tamu tak diundang’ 97 mil, dengan heading 108 derajat dari Satrad. “Artinya mengarah ke lurus ke Satrad dari selatan,” jelas Kapten Azhar.
Karena posisinya mencurigakan, Satrad memerintahkan Hawk mendekati target. Hawk naik ke 20.000 kaki dengan terus dipandu oleh radar karena dalam jarak tersebut, radar Hawk belum bisa menangkap posisi target. Radar melaporkan lagi, bahwa jarak mereka mengecil jadi 40 mil. Mungkinkah Hawk di-jamming? Karena makin mencurigakan, Hawk meminta Satrad untuk terus menuntun hingga mendekati sasaran.
Setelah jarak menjadi sangat dekat, 10 mil, naluri tempur Azhar mulai bekerja. Dihidupkannya switch air combat manouver (ACM), agar radar rudal bekerja. Dengan kata lain, disiagakan untuk menembak. Saat itulah, Azhar, Henry dan Anton, dibuat kaget. Kedua pesawat asing tersebut, mendadak meleset dengan kecepatan 670 knot dan terus naik hingga 30.000 kaki. Melihat gelagat begitu, artinya tahu dikejar, mereka langsung bisa menyimpulkan bahwa pesawat diseberang sana adalah pesawat tempur.
Disinilah saat kritisnya. Kedua Hawk terus mengejar dengan kemampuan penuh, sambil terus mengikuti gerakan kedua target. Dengan kata lain, dog fight baru saja digelar di atas Pulau Roti. Sebagai tactical lead, Azhar mempertahankan posisi untuk tetap mengejar (di belakang). Kejar-kejaran berlangsung seru. Sampai akhirnya Hawk mencapai ketinggian lebih 30.000 kaki. Saat itulah, Kapten Azhar melihat dua titik hitam terbang vertikal dengan kecepatan 675 knot. Azhar dan Henry cepat mengambil posisi serang (pesawat kedua pindah ke belakang).
Tiba-tiba GCI memecah lagi ketegangan, “Target di ketinggian 40.000 kaki (sekitar 12,1 Km) berbalik arah menuju Hawk!” Tapi Hawk saat itu di ketinggian 32.000 kaki (sekitar 9,75 Km) dengan posisi nose up. Sesaat lagi, keempat pesawat akan berpapasan. Ketika itulah, Azhar yang mendongakkan kepalanya ke atas melihat pesawat berekor ganda pada jarak 5 mil darinya menyambar ke arah berlawanan. “F-18,” umpat Azhar.

F/A-18 Hornet, lawan tanding Hawk 209 TNI AU, milik Australia kah?
Sebenarnya, saat kejar-kejaran, posisi dua Hawk sudah menguntungkan untuk menembak. Mereka berada tepat di belakang F-18. ACM sudah aktif, satu dari kedua pesawat telah terkunci dalam TD Box (penunjuk posisi target), missile lock on, tone slave. Artinya tinggal menunggu perintah, AIM-9 P-4 Sidewinder akan meleset mengejar target. Tapi komando bawah hanya memerintahkan : bayang-bayangi dan indentifikasi. Menurut Azhar, sepertinya F-18 Australia. Sayang, kedua F-18 sudah keburu kabur menuju FIR Australia. Kedua Hawk pun, memutuskan kembali ke pangkalan. Setelah itu, GCI banyak menangkap pergerakan pesawat di FIR Darwin. Entah ada hubungannya atau tidak, malamnya terjadi peristiwa menjengkelkan. Delapan F-18 terbang melintas di atas Lanud El Tari.
Nah, soal delapan F-18 yang terbang di atas lanud El Tari yang menarik dikupas, bila kedatangan F-18 Hornet siangnya sudah bisa terdeteksi oleh Satrad 251 yang menempatkan unit radanya di daerah Burean, pantai selatan Kupang, maka pada malamnya pun kehadiran pesawat tersebut bisa lebih dulu di deteksi, dan bukan hanya menjengkelkan, tapi juga memalukan, artinya F-18 berhasil masuk ke wilayah daratan RI, ditambah terbang di atas lanud. Meski ada Satrad, sangat disayangkan sebagai pangkalan aju, El Tari tak dilengkapi elemen arhanud, baik berupa rudal darat ke udara atau pun kanon PSU (penangkis serangan udara) DShk.

PSU jenis DShk kaliber 12,7mm milik Paskhas TNI AU, andalan pertahana udara titik jarak dekat.
Padahal bila ditelaah, pada masa itu arhanud RI memiliki deretan penangkis serangan udara yang lumayan ‘bertaring’, sebut saja dari TNI AD ada Rapier, RBS-70, bahkan rudal bopong SA-7 Strela pun sudah kita miliki. Belum lagi, dari unsur armada TNI AL, ada rudal Sea Cat yang bisa dilepas dari frigat Van Speik maupun frigat kelas Tribal. Entah mungkin karena koordinasi di tingkat Kohanudnas yang rumit dan birokratis, alhasil gelar unsur alutsista tak bisa digelar di lokasi tersebut. Kohanudnas merupakan komando utama terpenting dalam kekuatan Markas Besar TNI. Kohanudnas berfungsi sebagai mata dan telinga yang mengawasi berbagai pergerakan pesawat udara yang melintasi wilayah Indonesia.
Panglima Kohanudnas dijabat oleh perwira tinggi dari TNI AU, meski demikian untuk pengoperasian alutsistanya (rudal dan meriam) lebih banyak berada di bawah TNI AD dan TNI AL. Alustsista yang telah di BKO (bawah kendali operasi)-kan ke Kohanudnas, selanjutnya komando dan pengendaliannya berada di tangan Pangkosekhanudnas (Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional). TNI AU sendiri saat insiden El Tari belum memiliki rudal darat ke udara, TNI AU kala itu masih mengandalkan Triple Gun kaliber 20 mm peninggalan tahun 60-an. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana TNI AU, khususnya Korps Paskhas telah memiliki resimen baterai rudal sendiri yang mengandalkan Portable Combat Radar Vehicle QW-3 berikut rudal panggulnya.

kanon Triple Gun kaliber 20mm, arsenal andalan Paskhas TNI AU untuk pertahanan titik.
Sebuah Teori Insiden El Tari
Pada insiden melintasnya F-18 Hornet di atas lanud El Tari, ada sebuah teori yang mungkin bisa jadi kajian, namun sayang informasi fly pass F-18 Hornet tidak disertai dengan data-data ketinggian pesawat tersebut. Tapi secara logika, bila Hornet melintas dalam rangka pengintaian atau katakanlah provokasi, kemungkinan besar fly pass Hornet dalam ketinggian maksimum. F-18 Hornet secara umum dapat terbang dengan kecepatan 1,7 Mach pada ketinggian 15 Km.


F-117 Nighthawk, jet tempur yang kampiun untuk misi black flight
Bila seandainya Hornet terbang pada ketinggian tersebut, maka bisa dipastikan sistem hanud rudal dan merim PSU TNI tidak akan mampu berbuat banyak. Obyek bisa jadi sudah terindentifikasi satrad 251 yang menggunakan radar CGI/EW dengan kemampuan deteksi 250 mil (sekitar 403 Km), tapi sayang langkah penindakan tak bisa dilakukan. Sebagai ilustrasi, bila Hornet dihadang meriam PSU S-60 kaliber 57 mm TNI AD, jarak jangkau peluru yang bisa dilepas maksimum hanya 6 Km. Andai kata di kawasan El Tari sudah digelar Rapier dan RBS-70, Rapier pun hanya efektif meluncur maksium 6,8 Km dengan ketinggian ‘hanya’ 3 Km. Begitu pun dengan RBS-70 MK-2, rudal portable ini maksimum hanya efektif menjangkau sasaran hingga 7 Km dengan ketinggian ‘hanya’ 4 Km.

Satuan radar 251
Benar atau salah, saya memperkirakan pihak intelijen Australia memang sedari awal sudah mengetahui gelar kekuatan hanud di El Tari, seperti minimnya unsur arhanud hingga keberadaan pesawat-pesawat tempur TNI AU. Sebagai ilustrasi, ketinggian maksimum Hawk 109/209 adalah 13,5 Km. Bila dilihat dari spesifikasi pesawat, jet tempur TNI AU yang ideal menyergap Hornet adalah F-16 Fighting Falcon Skadron 3 di lanud Iswahyudi, Madiun. Tapi secara teori agak sulit untuk mengerahkan F-16, bila yang dihadapi black flight pada jarak sangat jauh.
Tapi lepas dari itu, misi operasi udara di perbatasan bukanlah misi perang, namum misi daman, sehingga tindakan yang bisa diambil maksmimalnya hanya pengusiran dan force down. Walau bila sampai ‘berani’ terbang fly pass di atas lanud, sebenarnya sudah amat kelewatan. Meski ada kemampuan untuk menyergap atau menembak Hornet sekalipun, situasi politik saat itu membuat pemerintah RI dihadapkan pada keputusan yang sulit untuk mengambil tindakan. Di dalam negeri TNI sedang dihujat berkaitan dengan isu pelanggaran hak asasi manusia, sedangkan di luar negeri, Indonesia kala itu tengah dikepung berbagai sanksi dan embargo.
Belum sempat menampilkan taringnya, akibat embargo militer dari AS dan Uni Eropa berdampak keras pada kesiapan alutsista TNI AU. Sebut saja pengiriman Hawk 109/208 sempa tertunda, bahkan pesawat F-16 sempat tidak memiliki cadangan ban, dan para teknisi asal AS ditarik pulang. Untuk jet F-5 pun nasibnya tragis, suku cadang yang jumlahnya sudah minim, beberapa kiriman komponen yang sudah dibeli malah ditahan pengirimannya. Begitu pun dengan proyek refrofit F-5 pun sempat terganggu karena solidaritas Belgia sebagai sesama anggota Uni Eropa. 


baca juga : Kronologi Insiden Duel Udara F-16 TNI AU Dengan F/A 18 Milik AU Amerika Serikat Diatas Pulau Bawean





sumber : indomiliter.com

Senin, 11 Februari 2013

Spesifikasi Pesawat Pembom (Stealth Bomber), B-2 Spirit



Northrop Grumman B-2 Spirit adalah pesawat perang berteknologi stealth yang digunakan untuk pengemboman (Stealth Bomber)Pesawat yang dibuat dari bahanthermoplastic itu, dipakai oleh Angkatan Perang Udara AS"Northrop Grummanadalah kontraktor utama untuk pembom Angkatan Udara AS siluman B-2 Spirit."

Pesawat ini pertama kali diperkenalkan kepada publik, 1988 dan terbang perdana, 17 Juli 1989, dengan status masih aktif. Pesawat ini tidak mampu terbang cepat dan mudah dimusnahkan jika terlihat. Oleh karena itu, Northrop Grumman telah mengembangkan lapisan penyerap radar baru untuk melestarikan karakteristik dari stealth B-2's secara drastis, guna mengurangi waktu perawatan. Bahan baru, yang dikenal sebagai bahan alternatif frekuensi tinggi (AHFM), disemprotkan oleh empat robot yang dikendalikan secara independen.

Misi dari pesawat ini adalah menghancurkan basis atau pangkalan militer musuh, tanpa terlihat radar. Kelebihan B-2 adalah mampu menembus perisai pertahanan udara (radar) yang canggih. Pesawat ini mampu menyerang semua target dari ketinggian hingga 50.000 kaki, (16,656 kilometer) dari ketinggian laut, dengan jangkauan lebih dari 6.000 nm, tanpa mengisi bahan bakar (unrefueled) dan lebih dari 10.000 nm dengan satu kali pengisian bahan bakar, memberikan kemampuan untuk terbang ke titik manapun di dunia dalam beberapa jam.

Dua puluh satu buah B-2 Spirit dikirim pertama kali ke Pangkalan Angkatan Udara Whiteman di Missouri, pada bulan Desember 1993. Dalam tiga tahun pertama pelayanan, operasional B-2 Spirit, mencapai tingkat keandalan 90%, saat melakukan serangan mendadak.  Sebuah penilaian yang diterbitkan oleh USAF menunjukkan, bahwa dua B-2 Spirit dengan persenjataan presisi dapat melakukan pekerjaan dari 75 pesawat konvensional.


Untuk tugas misi di luar negeri, telah pula dikembangkan sebuah sistem hangar yang bisa diangkut ke berbagai tujuan, di berbagai negara. Sebuah sistem hangar, memiliki panjang 126 kaki, lebar 55 kaki dan tinggi 250 kaki. Hanggar pertama hangar telah didirikan di Diego Garcia di Samudera Hindia.

Sebelum dikembangkan sistem hangar ini, setiap akli habis menunaikan sebuah misi, B-2 Spirit harus kembali ke Whiteman AFB, untuk pemeliharaan fitur “stealth” dari pesawat tersebut.  B-2 Spirit digunakan untuk pertama kalinya selama Operasi Kebebasan Irak pada Maret / April 2003. Pada bulan Maret 2005, skuadron B-2 ditempatkan untuk pertama kalinya ke Pangkalan Angkatan Udara Andersen diGuam, bersama pesawat tempur B-1 and B-52, untuk mendukung dan memperkuat pertahanan Komando USAF Asia Pasifik. Sebagian lain difokuskan untuk berperang di Timur Tengah.

Siluman-siluman itu kerap terlihat di area Kosovo, Iraq, dan Afghanistan. Pembuatan pesawat futuristik berbentuk segitiga itu menghabiskan USD 737 juta – 2,2 miliar per unit. Biaya tersebut menjadikan pesawat bomber siluman menjadi pesawat militer termahal di dunia.

Pengguna

 Amerika Serikat
*       United States Air Force
o    509th Bomb WingWhiteman Air Force Base (Current, 19 aircraft)
§  13th Bomb Squadron
§  393d Bomb Squadron
§  394th Combat Training Squadron
o    412th Test WingEdwards Air Force Base (Current, one aircraft)
§  419th Flight Test SquadronEdwards Air Force Base
o    53d WingEglin Air Force Base (past)
§  72d Test and Evaluation SquadronWhiteman Air Force Base
o    57th WingNellis Air Force Base (past)
§  325th Weapons SquadronWhiteman Air Force Base
§  715th Weapons Squadron (inactivated)
Spesifikasi
Karakteristik umum
*       Kru: 2
*       Panjang: 69 ft
*       Lebar sayap: 172 ft
*       Tinggi: 17 ft
*       Luas sayap: 5,000 ft²
*       Bobot kosong: 158,000 lb
*       Bobot terisi: 336,500 lb
*       Bobot maksimum lepas landas: 376,000 lb
*       Mesin: 4× General Electric F118-GE-100 turbofans, 17,300 lbf masing-masing 

Kinerja
*       Laju maksimum: 410 knots (760 km/h, 470 mph)
*       Jarak jangkau: 5,600 nm
*       Batas tertinggi servis: 50,000 ft
*       Beban sayap: 67.3 lb/ft²
*       Dorongan/berat: 0.205

Persenjataan
*       2 internal bays for 50,000 lb (22,700 kg) of ordnance.
o    80× 500 lb class bombs (Mk-82) mounted on Bomb Rack Assembly (BRA)
o    36× 750 lb CBU class bombs on BRA
o    16× 2000 lb class weapons (Mk-84, JDAM-84, JDAM-102) mounted on Rotary Launcher Assembly (RLA)
o    16× B61 or B83 nuclear weapons on RLA

Riwayat Kelabu

Seperti halnya pesawat lain, meskipun memiliki peralatan serba canggih, B-2 Spirit, Stealth Bomber ini pernah mengalami masa kelabu. Pesawat pengebom supercanggih B-2 ini, jatuh setelah gagal take off dari Pangkalan Udara Andersen diGuam, Kepulauan Pasifik, pada Sabtu (23 / 2 / 2008) sekitar pukul 10.45 waktu setempat. Ini insiden pertama pesawat antiradar berjuluk "Siluman" itu jatuh sejak diperkenalkan ke publik pada 1988.

Kapten Sheila Johnston, juru bicara Komando Tempur Udara Pusat Pangkalan Udara Langley di Virginia, AS, mengatakan, dalam insiden itu dua pilot dilaporkan berhasil keluar dari pesawat, yang saat itu tidak membawa amunisi, dan selamat.

Kedua awak yang dirahasiakan namanya itu dari satuan tempur 509. "Kami segera menyelidiki penyebab terjadinya kecelakaan," tegas Johnston.

Menurut Mayor Eric Hilliard dari pangkalan udara Hickham, Hawaii, pesawat B-2 berbobot 152,6 ton itu jatuh sesaat setelah lepas landas bersama tiga pesawat sejenis. Kecelakaan terjadi saat satu dari tiga pesawat yang mampu melaju 716 km per jam itu tiba-tiba meluncur ke bawah.
Ini jadwal terbang mereka yang terakhir setelah beroperasi empat bulan. Akibat kecelakaan ini, tiga pesawat tempur lain langsung diamankan di Guam. "Sebelum pesawat siluman B-2 jatuh, sebetulnya ada satu pesawat siluman lain yang berhasil lepas landas. Namun, pesawat itu kita panggil ke pangkalan beberapa saat setelah insiden," jelasnya. Namun operasional pesawat ini kembali dilanjutkan pada bulan April 2008.

Juru bicara Pentagon Geoff Morrell segera mengkonfirmasi kejadian itu ke Menteri Pertahanan waktu itu, Robert Gates. Tapi, Gates yang sedang melawat ke beberapa negara pasifik, termasuk Indonesia, menolak
memberikan penjelasan lebih lanjut.